Kisruh Pembebasan Lahan RS Sejumlah Pejabat Takalar Jadi Terperiksa Di Kajati Sulsel
MAKASSAR (KARYA INDONESIA) Pemeriksaan saksi kasus dugaan korupsi pembebasan lahan pembangunan Rumah Sakit (RS) Internasional Takalar terus bergulir di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan.
Kali ini giliran Sekda Takalar, Drs M Arsad, pejabat lain yang juga menjalani pemeriksaan secara maraton adalah Kepala Inspektorat Yahya Rongrong dan Agus Salim.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Sulsel M Idil mengatakan, penanganan dan pemeriksaan saksi-saksi terkait kasus dugaan korupsi pembebasan lahan untuk pembangunan RS Internasional di Takalar terus berlanjut. Pemeriksaan dilakukan sebagai tindak lanjut dari laporan Lembaga Anti Korupsi (Laksus) di Kejati Sulsel beberapa waktu lalu, ungkapnya.
Diketahui, sebelumnya Lembaga Anti Korupsi Sulawesi Selatan (Laksus) mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel untuk turun mengusut proyek pembangunan Rumah Sakit di Desa Aeng Batu-batu, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar senilai Rp 12 miliar.
Koordinator Laksus, Muh Ansar menyebutkan kalau dalam proyek ini kesalahan mendasar adalah tidak adanya studi kelayakan dan dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal). Ansar juga menduga harga pembebasan lahan Rumah Sakit Takalar sangat mahal dan tidak mendasar pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
Seharusnya meski memakai harga pasar, Pemkab Takalar melalui tim apresialnya menjadikan NJOP untuk acuannya. Sebab NJOP menjadi dasar perhitungan harga pasaran.
“Penggunaan NJOP sangat penting dalam proses penaksiran harga tanah. Langkah itu dimaksudkan untuk menghindari adanya permainan harga tanah atau spekulan. Sebab berdasarkan NJOP tahun 2019 di wilayah Aeng Batu-Batu harga tanah permeternya hanya Rp 20.000 yang artinya penentuan harga Rp 12 miliar untuk lahan seluas 2 hektare kami menganggap kemahalan,” ujar Ansar.
Bahkan kata Ansar, Tim Laksus turun ke lokasi dan menanyakan langsung kepada mantan Kepala Desa Aeng Batu-batu yang istrinya saat ini menjabat pelaksana tugas Kepala Desa Aeng Batu-batu mengatakan, jika Pemkab Takalar baru membayarkan lahan tersebut seluas 5000 meter persegi atau kurang lebih Rp 3 miliar pada tahun 2018.
“Hal ini sangat bertentangan dengan penjelasan yang diberikan oleh mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Kabupaten Takalar yang kini menjabat sebagai Asisten I Pemkab Takalar bahwa terkait pembebasan lahan sudah terbayarkan sebanyak Rp 12 miliar atau seluas 2 Ha,” tegas Ansar.
Terkait dengan temuan-temuan tersebut, Laksus berharap agar Kejati Sulsel bisa menuntaskan perkara tersebut. “Potensi kerugian negaranya sangat besar, harus menjadi perhatian dari Kejati Sulsel,” pungkasnya. (Tri-KIN)
0 komentar :
Posting Komentar