Info update
Loading...
Jumat, 18 Juni 2021

NA Sepantasnya Sudah Keluar Dan Bebas, BB Tidak Berhubungan Dengan Kedua Terdakwa.

MAKASSAR (MEDIA INDONESIA HEBAT) Bisa dipastikan NA menjadi korban atas OTT KPK, seharusnya NA sudah lama keluar demi hukum. Karena dua orang terdakwa AS dan ER dalam kesaksiannya tidak menyebutkan bahwa NA terlibat, bahkan dikatakan tanpa sepengetahuan dengan uang yang selama ini dianggap barang bukti. Beber H.Zamsibar SH.MH, Jum'at/18/Juni/21

Sejumlah kesaksian yang muncul itu hanya berbicara "Katanya" dan itu tidak bisa dijadikan sebagai barang bukti. Hukum harus lurus, hukum harus ril bukti harus lengkap sebagaimana yang tercatat di awal penyidikan KPK. Hal ini dikatakan pemerhati hukum dan kepengacaraan, H.Zamsibar SH, MH, dalam menanggapi hasil sidang yang terungkap.

Menurutnya, kami sudah  jauh-jauh memaparkan dimedia dalam empat kali edisi yang di muat mediaindonesiahebat.com mengatakan bahwa NA harus bebas, demi penegakan hukum, karena OTT nya tidak terbukti. Akan habis semua pejabat kalau cara penegakan hukum seperti ini dipertontonkan, ujar Zamsibar prihatin.

Karena sampai saat ini barang bukti saat OTT tidak bisa dipertanggung jawabkan, karena sesungguhnya Uang yang dapat saat OTT tidak ada hubungannya dengan NA. BB itu hanya bertumpu pada pemilik uang/AS dan penerimahnya/ER. Sedangkan NA sama sekali tidak terkait, terbukti antara AS dn ER pun tidak mengakui bahwa atas perintah NA, uang yang muncul dalam OTT sama sekali tidak sepengetahuan dengan Gubernur NA. Jadi menurut pemahaman hukum saya, Ujar Zamsibar, NA harus keluar dan harus dibebaskan sekarang.

Kesaksian puluhan Saksi tidak berkaitan dengan OTT. Saya yakin NA bukan sosok pendendam dia akan memaklumi cara nangkap KPK kalau ada orang mau dilumpuhkan, dia akan memaafkan penyidik KPK, ujar Zamsibar kepada media ini. 

Lebih jauh dikatakannya, bahwa dirinya tidak mengenal baik dengan NA, hanya semata-mata penegakan hukum yang adil. Karena hukum itu memang harus adil, olehnya itu dalam proses hukum ada wasit yang berdiri ditengah yakni Hakim yang mulia. 

Harusnya juga partai pengusung NA berjuang keras bahwa kadernya ini bersih dari segala tuntutan OTT, tidak terbukti sampai kini. Sejumlah Kesaksian pun tidak jelas, kalau berbicara "Katanya" itu bukan kepastian hukum dan tidak boleh menjadi penguat untuk memenjarakan orang, karena tidak tercatatkan  dalam bukti awal saat penyidikan. Olehnya itu Barang Bukti saat OTT harus menjadi acuan hukumnya bagi KPK kalau Uang itu ada, beber Zamsibar.


Gubernur NA Hanya Jadi Korban Ulah Edy Rahmat
Edy Rahmat dan Agung Sucipto akui uang 2,5 M sama sekali tidak diketahui NA dan NA tidak perna menerima langsung sebagai mana makna OTT.
Ada yang menarik dalam sidang kasus suap / korupsi dengan terdakwa Agung Sucipto, di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (17/6/2021). Terungkap bahwa Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Non Aktif Nurdin Abdullah ternyata hanya merupakan korban dari ulah Sekretaris Dinas (Sekdis) Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Sulsel, Edy Rahmat.

Hal ini diungkapkan pihak kuasa hukum terdakwa Agung Sucipto (AS).

Dia menuding Edy Rahmat sebagai dalang dari kasus dugaan suap infrastruktur lingkup Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel yang menyeret Gubernur Sulsel Non-aktif, Nurdin Abdullah.

Kuasa Hukum Agung Sucipto (AS), Bambang Hartono menilai dalang di balik kasus suap yang menyeret kliennya dan Gubernur Sulsel Non-aktif adalah Sekdis PUTR Sulsel Edy Rahmat.

Ia mengutarakan, sesuai Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Edy Rahmat, tidak ada satupun percakapan yang mengindikasi dengan Nurdin Abdullah (NA). Bahkan, uang Rp2,5 miliar itu diterima tanpa sepengetahuan NA.

"Uang Rp 2,5 miliar itu tidak disampaikan kepada Nurdin Abdullah. Boleh saya kasih BAP-nya kalau tidak percaya," ungkapnya di Ruang Utama Persidangan Prof Harifin A Tumpa, di Pengadilan Negeri Makassar.

Nurdin Abdullah dalam kesaksiannya pekan lalu (10/6/2021), juga mengaku sama sekali tidak tahu-menahu perihal pertemuan antara Edy Rahmat dan Agung Sucipto di Rumah Makan (RM) Nelayan dan uang senilai Rp 2,5 miliar.

"Pak Gubernur saat jadi saksi sudah bersumpah bahwa dia (NA) tidak pernah menyuruh Edy Rahmat untuk meminta uang tersebut. Saya bukan pengacara Pak Gubernur tetapi kita mencari suatu kebenaran," jelasnya.

Menurutnya, Edy Rahmat telah melampaui kewenangannya sebagai Sekdis PUTR Sulsel. "Betul, jika Edy adalah dalang dari kasus ini. Dia dekat dengan Pak Anggung(AS) untuk keuntungan pribadi dan dia terima uang juga banyak tuh dari kontraktor lain," tambahnya.

Kendati demikian, ia menerangkan perihal uang yang menjadi temuan-temuan pihak penegak hukum dan diungkap beberapa waktu lalu. Tetapi tidak ada hubungan langsungnya dengan OTT.

"Itu mungkin akumulasi dari ucapan terima kasih pada waktu diberikan satu proyek. Pak Agung Sucipto adalah salah satu kontraktor paling baik di Bulukumba. Dimana cara kerjanya, jalannya mulus, kalaupun rusak dibetulin sendiri tanpa ada jaminan. Gubernur sendiri yang tahu persis itu, dan juga masyarakat mengucapkan terima kasih banyak kepada pak Agung," sebut Bambang.



Ditambahkan oleh Kuasa Hukum AS, Denny Kaliwang, bahwa, Edy Rahmat pernah dinonjobkan oleh Gubernur selama satu tahun karena nakal.

"Dia (Edy) kan sering mencatut nama Pak Gub. Satu tahun baru diangkat kembali, ketika diangkat kembali dia malah kumpulin duit dari kontraktor," tambahnya.

Edy Rahmat memang diketahui kerap "menjual" nama Nurdin Abdullah kepada kontraktor agar mendapatkan uang untuk kepentingan pribadinya.

Terbaru, berdasarkan kesaksiannya untuk terdakwa Agung Sucipto (AS) di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Kamis (17/6/2021), Edy Rahmat mengaku menerima uang sebesar Rp 337 juta dari kontraktor asal Kabupaten Pinrang, Andi Kemal.

Uang itu diakuinya diberikan kepada Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) sebagai bentuk suap agar temuan BPK diamankan. Temuan itu ada di proyek yang dikerjakan Andi Kemal di Kabupaten Pinrang.

"Saya terima Rp 337 juta dari Andi Kemal. Itu untuk BPK. BPK meminta satu persen untuk menghilangkan temua LHP," ungkapnya secara virtual.

Hakim Ketua, Ibrahim Palino kemudian bertanya, apakah uang tersebut atas perintah Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah ?

"Itu bukan perintah Pak Gubernur. Bukan pak," jawabnya singkat.

Ibrahim Palino lantas menilai Edy telah begitu lancang mengurus urusan tersebut tanpa dikoordinasikan ke pimpinan selevel Kepala Dinas, Sekretaris Daerah, hingga ke Gubernur Sulsel selaku pimpinan Edy.

"Ini kan lintas sektoral, mengapa saudara berani-berani menerima uang itu," cecar hakim.

Salah seorang saksi yang dihadirkan oleh JPU, Mega Putra Pratama mengaku, pernah dimintai nomor rekening oleh Edy Rahmat. Saksi tersebut memang tinggal seatap dengan Edy Rahmat.

"Saya berikan itu rekening Bank Mandiri. Saya tidak banyak tanya kepada Pak Edy, tiba-tiba ada masuk Rp 50 juta di rekening saya tetapi tidak tahu dari siapa," beber Mega yang berprofesi sebagai pengusaha itu.

Mega melanjutkan, ia kembali mendapat kiriman uang direkeningnya esok hari. Nilainya Rp 87 juta sehingga totalnya Rp 137 juta.

"Saya laporkan ke pak Edy. Lalu saya transfer ke Pak Edy semua. Saya tidak tahu itu uang apa," terangnya.

Sementara itu, uang Rp200 juta dari Andi Kemal telah diambil sebelumnya oleh Edy Rahmat.

Selain itu, dipersidangan Kamis, 17 Juni 2021, Edy Rahmat juga membeberkan jika dirinya pernah menerima uang sebesar Rp50 juta dari Raymond. Raymond merupakan bawahan Anggung. Itu sebagai ucapan terima kasih atas proyek jalan di Palampang-Munte-Bontolempangan.

Kembali ke kesaksian Gubernur Sulsel nonaktif, Prof HM Nurdin Abdullah pekan lalu, Kamis, 10 Juni 2021. NA mengaku, jika Edy Rahmat memang kerap kali meminta jatah dari para kontraktor olehnya dia dinonjobkan.

“Edy Rahmat pernah saya nonjobkan setahun karena memang saya sudah mendengar yang bersangkutan itu merisaukan, sering jual nama saya,” kata Nurdin Abdullah.

Direktur PT Putra Jaya, Petrus Yalim juga mengaku, Edy Rahmat sudah dua kali meminta uang dari dia di tahun 2020 sebelum ditangkap Februari tahun ini.

Petrus mengaku saat itu, Edy Rahmat datang langsung di kantornya dan meminta uang dengan alasan akan keluar kota sehingga minta jatah untuk kebutuhan operasionalnya. Setiap kali meminta Edy Rahmat tak menyebut angka. Dia hanya menyebut, butuh dibantu. Dia kemudian memberikan masing-masing Rp 10 juta dan Rp 5 juta.

“Beliau butuh uang operasional. Pak Edy ke kantor sendiri. Dia cuma katakan saya mau keluar kota, mungkin ada yang bisa dibantu. Maka, kami bantu,” ujar Petrus saat Sidang Kamis, 10 Juni lalu di Pengadilan Negeri Makassar.(Kadir Sijaya/Red/MIH)

1 komentar :

  1. www.lgbt.net
    www.palais.mc
    www.benedict.ch
    Professional therapist license register👣👣👣🥓 CUDDIN SALAHUDDIN CELEBES KAPPOKA BUMBUNGLOE TAMALATEA JENEPONTO SOUTH SULAWESI👣

    BalasHapus

Back To Top